Senin, 24 Agustus 2020,
Setelah mempertimbangkan beberapa saran dan untuk mengakhiri
apa yang seharusnya sudah berakhir sejak lama.
Untuk kewarasan diri ku sendiri,
Untuk kemudahan diri ku sendiri,
Untuk jam tidur malam ku yang lebih cepat,
Untuk malam-malam tanpa obat penyebab rasa kantuk lagi,
Untuk rasa tidak bersalah saat aku dekat dengan orang lain,
Untuk rasa aman saat aku dekat dengan orang lain,
Demi malam-malam yang akan dan harus kulewati tanpa lamunan
dan pikiran yang kacau,
Untuk melengkapi akhir dari seribu lima ratus hari,
Aku meneleponmu, getir, menerobos dinding egoku sendiri
“Halo”
“Iya halo”
Aku menghela nafas, sudah saatnya
“Aku nggak bisa basa-basi, setelah kejadian kemarin, intinya
sekarang urusanku dan urusanmu sudah selesai. Buat kedepannya, terserah kamu
mau sama siapa, mau tetep sama Betari Durga atau perempuan lain, terserah. Dan
terserah aku juga setelah ini mau sama laki-laki yang mana. Nggak ada
tendensi apa-apa lagi antara kita. Jujur aku nunggu itikadmu setelah kejadian
kemarin, kamu minta maaf atau nggak, kamu ngasih penjelasan atau nggak.
Dan, nyatanya kaya yang sudah-sudah, udah lewat 40 hari dan nggak
ada penjelasan, nggak ada permintaan maaf. Kamu tetap kamu, nggak
ada yang beda dari 5 tahun yang lalu. Aku nelpon kamu bukan buat
mengulang siklus yang sama, tapi aku pengen make sure kita betul-betul udah
nggak ada. Dan kaya yang sudah-sudah, aku yang reach out kamu
duluan. Terima kasih. Urusan kita udah selesai. Aku nelepon koe
karena aku wegah nduwe dendam atau sengit karo koe”
Hening
Aku berhasil menyampaikannya dengan baik tanpa ada kalimat
yang tercekat di tenggorokan ku seperti yang telah lalu.
“Gini, tak ulangi sekali lagi, aku ora jadian karo
Betari Durga dan aku ora enek opo-opo karo de’e. Nek koe ngiro aku ono
opo-opo yowis karepmu. Tapi aku menekankan aku ora ono opo-opo karo de’e.
Aku pancen arep njaluk ngapuro karo koe, Pan. Tapi koe sore kui
ngomong wegah ndelok raiku meneh dan ngonekke bajingan, nek aku njaluk
ngapuro karo koe, raiku meh tak seleh ndi?”
Aku memandang langit-langit kamar ku, poin pertama, aku menganggap
omongan mu hanya bualan semata. Karena, ya, memang hanya bualan selalu dan selamanya.
Dan, poin kedua, sekali lagi, kamu tetap kamu, kamu dan
tembok egomu yang sangat keras dan tinggi sehingga meminta maaf untuk kesalahan
yang kamu buat sendiri pun terasa enggan.
Seandainya kamu menarik kembali ingatan untuk segala
klarifikasi-pernyataan yang kamu lontarkan saat kita masih bersama, niscaya,
segalanya berarti kebalikannya.
Aku tidak menyangkal dan menyanggah segala pernyataan mu di
malam itu, karena ya, aku tidak ingin kita kembali pada siklus yang sama yang
betul-betul melelahkan.
Aku hanya ingin urusan ini selesai dan aku tidak menyimpan
berbagai pertanyaan yang jawabannya selalu ku cari sendiri, yang sangat
melelahkan dan berujung menyalahkan diri ku sendiri.
“Terserah. Aku gur menilai dan ndelok opo sing tak
delok di minggu itu. Faktanya, koe ditelpon de’e dan jenenge
mbok ganti ning kontak mu. Faktanya, koe ngomong ra bakal dan
ra ono opo-opo tapi nyatane koe ning Solo lungo nemoni
de’e. Sing aku isih bingung nganti saiki, ngopo koe ket mbiyen selalu
ngelarang aku ini-itu tapi larangan kui mbok lakoni? Ngopo setelah 4
hari koe nemokke aku karo Bapak-Ibumu meneh, jebul koe malah ditelepon
Betari Durga? Ngopo setelah koe menjelaskan tentang Betari Durga
tapi malah koe lungo karo de’e? Ngopo koe kudu neng Candi Sukuh, salah
satu tempat sing koe selalu sentimen karena aku tau lungo karo mantan
ku ning kono? Aku ra ngerti motif mu kepie, tapi aku loro
ati banget pas koe ngomong “sekarang kamu tau kan rasanya gimana?” aku
wis ra iso ngomong opo-opo meneh terkait kui. “
“Sing Candi Sukuh kui kebetulan, Pan.”
“Oke, mungkin kamu balas dendam. Tapi, ya udah. Semua
udah kejadian. Cuma ngopo to koe selalu menyembunyikan hal-hal koyo
ngene? Padahal nek koe ngomong baik-baik nek iki wis ra iso
didandani aku malah rapopo banget. Tapi yo dengan catatan, koe
fair ketika memutuskan untuk berhenti dan aku cedak karo wong liyo. Selama
iki kan ora, selalu ning siklus sing kui-kui wae.”
Seingat ku, kamu hanya menjawab terkait kesamaan tempat.
Untuk pertanyaan-pertanyaan ku yang lainnya, aku lupa telah terjawab atau
selamanya tidak akan pernah terjawab sampai kapan pun. Dan tidak apa-apa,
beberapa pertanyaan memang tidak memerlukan jawaban, dan beberapa lainnya
bersifat retoris.
“Udah, sekarang intinya kamu mau ngomong apa
lagi? Jangan muter-muter.”
Pertanyaan dengan pola yang sama yang selalu kamu lontarkan
setiap kita berseteru, tepatnya setiap aku meminta penjelasan. Selalu.
Untuk memanipulasi, kamu juaranya.
Tidak ada omongan ku yang muter-muter, semua terarah
tanpa basa-basi, dan kamu tau aku tidak pernah basa-basi di setiap omongan dan
pertanyaan ku.
“Nggak ada, itu tadi aja, aku masih heran kenapa
semua beruntutan tapi berlawanan. Aku tetep bingung dan sakit hati pas
kamu bilang “Sekarang kamu tau kan rasanya gimana?” ya itu aja sih”
“Ya udah kalo gitu, makasih”
“Oke, sama-sama”
Sambungan terputus.
Senin, 24 Agustus 2021.
Malam merambat semakin gelap,
Aku sendiri di rumah,
Aku punya kesempatan untuk menangis lebih keras,
Ya, tidak dapat dihindari bahwa air mata ini akan jatuh,
pasti jatuh.
Tidak, aku tidak menangis karena kehilangan mu,
Aku tidak menangis karena aku dan kamu telah berakhir,
Aku tidak menangis karena akhir dari jalan panjang nan penuh
liku berujung seperti ini,
Aku menangis karena kejengkelan ku kepada mu untuk segala
rasa tidak pernah merasa bersalah mu,
Aku menangis karena muak dengan dinding ego mu yang begitu
tebal,
Aku menangis atas waktu yang terbuang percuma.
Tak apa, aku lega, sangat lega, segala kegelisahan dan
kecemasan ku berakhir sudah,
Segalanya terjawab dan berhasil tersampaikan dengan runtut
dan tanpa ragu.
Untuk lebih dari seribu hari yang kita lalui, terima kasih
Untuk kebersamaan dan pengkhianatan sejak usia kita belasan
hingga puluhan tahun, terima kasih
Untuk segala keprihatinan dan puncak tertinggi yang pernah
kita lewati, terima kasih
"Ketika semua telah berakhir, hilang sudah harapan di hati
Ketika semua telah berakhir, tak aka nada rasa di antara
kita
Ketika semua telah berakhir, ku tak tahu apa yang ku cari
Ketika semua telah berakhir, ku terduduk menunggu datangnya
pagi
Sesungguhnya ku telah rela melepaskan diri mu
Hanya saja, ku menyesal kau telah buang waktu ku
Dan kini semuanya telah terjadi."
-----
"Dengan tangan ku, ku bantu aku, tumbuh membaru dengan luka
ku
Dengan berat ku, Tarik lemah ku, sudah tugas ku menjadi
sembuh
Ku sulam senyum, meleburkan yang pilu, demi menjadi angan
‘tuk yang butuh."
“Aku wegah nduwe dendam atau sengit karo koe”
Semoga.