CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 08 Oktober 2021

365-6 / Sudah tugasku menjadi sembuh

Senin, 24 Agustus 2020,

Setelah mempertimbangkan beberapa saran dan untuk mengakhiri apa yang seharusnya sudah berakhir sejak lama.

Untuk kewarasan diri ku sendiri,

Untuk kemudahan diri ku sendiri,

Untuk jam tidur malam ku yang lebih cepat,

Untuk malam-malam tanpa obat penyebab rasa kantuk lagi,

Untuk rasa tidak bersalah saat aku dekat dengan orang lain,

Untuk rasa aman saat aku dekat dengan orang lain,

Demi malam-malam yang akan dan harus kulewati tanpa lamunan dan pikiran yang kacau,

Untuk melengkapi akhir dari seribu lima ratus hari,

Aku meneleponmu, getir, menerobos dinding egoku sendiri

“Halo”

“Iya halo”

Aku menghela nafas, sudah saatnya

“Aku nggak bisa basa-basi, setelah kejadian kemarin, intinya sekarang urusanku dan urusanmu sudah selesai. Buat kedepannya, terserah kamu mau sama siapa, mau tetep sama Betari Durga atau perempuan lain, terserah. Dan terserah aku juga setelah ini mau sama laki-laki yang mana. Nggak ada tendensi apa-apa lagi antara kita. Jujur aku nunggu itikadmu setelah kejadian kemarin, kamu minta maaf atau nggak, kamu ngasih penjelasan atau nggak. Dan, nyatanya kaya yang sudah-sudah, udah lewat 40 hari dan nggak ada penjelasan, nggak ada permintaan maaf. Kamu tetap kamu, nggak ada yang beda dari 5 tahun yang lalu. Aku nelpon kamu bukan buat mengulang siklus yang sama, tapi aku pengen make sure kita betul-betul udah nggak ada. Dan kaya yang sudah-sudah, aku yang reach out kamu duluan. Terima kasih. Urusan kita udah selesai. Aku nelepon koe karena aku wegah nduwe dendam atau sengit karo koe

Hening

Aku berhasil menyampaikannya dengan baik tanpa ada kalimat yang tercekat di tenggorokan ku seperti yang telah lalu.

“Gini, tak ulangi sekali lagi, aku ora jadian karo Betari Durga dan aku ora enek opo-opo karo de’e. Nek koe ngiro aku ono opo-opo yowis karepmu. Tapi aku menekankan aku ora ono opo-opo karo de’e. Aku pancen arep njaluk ngapuro karo koe, Pan. Tapi koe sore kui ngomong wegah ndelok raiku meneh dan ngonekke bajingan, nek aku njaluk ngapuro karo koe, raiku meh tak seleh ndi?”

Aku memandang langit-langit kamar ku, poin pertama, aku menganggap omongan mu hanya bualan semata. Karena, ya, memang hanya  bualan selalu dan selamanya.

Dan, poin kedua, sekali lagi, kamu tetap kamu, kamu dan tembok egomu yang sangat keras dan tinggi sehingga meminta maaf untuk kesalahan yang kamu buat sendiri pun terasa enggan.

Seandainya kamu menarik kembali ingatan untuk segala klarifikasi-pernyataan yang kamu lontarkan saat kita masih bersama, niscaya, segalanya berarti kebalikannya.

Aku tidak menyangkal dan menyanggah segala pernyataan mu di malam itu, karena ya, aku tidak ingin kita kembali pada siklus yang sama yang betul-betul melelahkan.

Aku hanya ingin urusan ini selesai dan aku tidak menyimpan berbagai pertanyaan yang jawabannya selalu ku cari sendiri, yang sangat melelahkan dan berujung menyalahkan diri ku sendiri.

“Terserah. Aku gur menilai dan ndelok opo sing tak delok di minggu itu. Faktanya, koe ditelpon de’e dan jenenge mbok ganti ning kontak mu. Faktanya, koe ngomong ra bakal dan ra ono opo-opo tapi nyatane koe ning Solo lungo nemoni de’e. Sing aku isih bingung nganti saiki, ngopo koe ket mbiyen selalu ngelarang aku ini-itu tapi larangan kui mbok lakoni? Ngopo setelah 4 hari koe nemokke aku karo Bapak-Ibumu meneh, jebul koe malah ditelepon Betari Durga? Ngopo setelah koe menjelaskan tentang Betari Durga tapi malah koe lungo karo de’e? Ngopo koe kudu neng Candi Sukuh, salah satu tempat sing koe selalu sentimen karena aku tau lungo karo mantan ku ning kono? Aku ra ngerti motif mu kepie, tapi aku loro ati banget pas koe ngomong “sekarang kamu tau kan rasanya gimana?” aku wis ra iso ngomong opo-opo meneh terkait kui. “

 

Sing Candi Sukuh kui kebetulan, Pan.”

“Oke, mungkin kamu balas dendam. Tapi, ya udah. Semua udah kejadian. Cuma ngopo to koe selalu menyembunyikan hal-hal koyo ngene? Padahal nek koe ngomong baik-baik nek iki wis ra iso didandani aku malah rapopo banget. Tapi yo dengan catatan, koe fair ketika memutuskan untuk berhenti dan aku cedak karo wong liyo. Selama iki kan ora, selalu ning siklus sing kui-kui wae.”

Seingat ku, kamu hanya menjawab terkait kesamaan tempat. Untuk pertanyaan-pertanyaan ku yang lainnya, aku lupa telah terjawab atau selamanya tidak akan pernah terjawab sampai kapan pun. Dan tidak apa-apa, beberapa pertanyaan memang tidak memerlukan jawaban, dan beberapa lainnya bersifat retoris.

Udah, sekarang intinya kamu mau ngomong apa lagi? Jangan muter-muter.”

Pertanyaan dengan pola yang sama yang selalu kamu lontarkan setiap kita berseteru, tepatnya setiap aku meminta penjelasan. Selalu.

Untuk memanipulasi, kamu juaranya.

Tidak ada omongan ku yang muter-muter, semua terarah tanpa basa-basi, dan kamu tau aku tidak pernah basa-basi di setiap omongan dan pertanyaan ku.

Nggak ada, itu tadi aja, aku masih heran kenapa semua beruntutan tapi berlawanan. Aku tetep bingung dan sakit hati pas kamu bilang “Sekarang kamu tau kan rasanya gimana?” ya itu aja sih”

“Ya udah kalo gitu, makasih”

“Oke, sama-sama”

Sambungan terputus.

Senin, 24 Agustus 2021.

Malam merambat semakin gelap,

Aku sendiri di rumah,

Aku punya kesempatan untuk menangis lebih keras,

Ya, tidak dapat dihindari bahwa air mata ini akan jatuh, pasti jatuh.

Tidak, aku tidak menangis karena kehilangan mu,

Aku tidak menangis karena aku dan kamu telah berakhir,

Aku tidak menangis karena akhir dari jalan panjang nan penuh liku berujung seperti ini,

Aku menangis karena kejengkelan ku kepada mu untuk segala rasa tidak pernah merasa bersalah mu,

Aku menangis karena muak dengan dinding ego mu yang begitu tebal,

Aku menangis atas waktu yang terbuang percuma.

Tak apa, aku lega, sangat lega, segala kegelisahan dan kecemasan ku berakhir sudah,

Segalanya terjawab dan berhasil tersampaikan dengan runtut dan tanpa ragu.

Untuk lebih dari seribu hari yang kita lalui, terima kasih

Untuk kebersamaan dan pengkhianatan sejak usia kita belasan hingga puluhan tahun, terima kasih

Untuk segala keprihatinan dan puncak tertinggi yang pernah kita lewati, terima kasih

 

"Ketika semua telah berakhir, hilang sudah harapan di hati

Ketika semua telah berakhir, tak aka nada rasa di antara kita

Ketika semua telah berakhir, ku tak tahu apa yang ku cari

Ketika semua telah berakhir, ku terduduk menunggu datangnya pagi

Sesungguhnya ku telah rela melepaskan diri mu

Hanya saja, ku menyesal kau telah buang waktu ku

Dan kini semuanya telah terjadi."

-----

"Dengan tangan ku, ku bantu aku, tumbuh membaru dengan luka ku

Dengan berat ku, Tarik lemah ku, sudah tugas ku menjadi sembuh

Ku sulam senyum, meleburkan yang pilu, demi menjadi angan ‘tuk yang butuh."

 

“Aku wegah nduwe dendam atau sengit karo koe”

Semoga.


Selasa, 13 Juli 2021

365-5 / dan, selesai.

Senin, 13 Juli 2020.

Salahku yang tidak bisa membedakan apa yang disebut pertanda dan apa yang disebut ujian.

Aku masih mencoba untuk biasa saja, seperti semula.

Tidak, aku menahan amarah.

Dan, hari ini, adalah akhir dari yang seharusnya sudah selesai sejak lama.

Aku kembali lagi melewati ringroad dari Kalasan menuju Jalan Palagan sembari membawa benda-benda yang pernah kau beri.

Aku masih mencoba biasa saja, bahkan aku masih sempat menyiapkan sarapan untukmu.

Kusempatkan mampir ke kost saudaramu sebelum bekerja

Kau di sana, tertidur.

Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, kau mengubungiku kembali

"Makasih ya, rasanya enak" ujarmu sembari mengirimkan foto sarapan yang kuberi.

"Maaf ya semalam aku bohong, aku soalnya capek banget, sama mau minum sama temenku, mbok pan mau ngajak main atau apa aku gaenak nolaknya."

Brown guilty eyes and little white lies
I played dumb but I always knew
That you'd talk to her, maybe did even worse
I kept quiet so I could keep you.

Sekali lagi,

Perihal berdusta, kau juaranya.

Dan sekali lagi,

Kau lupa bahwa di setiap celah dustamu, aku selalu tau.

Memang benar, satu kebohongan akan menutupi kebohongan lainnya.

Tak apa, sudah menjadi tabiatmu.

Dan aku yang bodoh selalu mengulanginya lagi dan lagi.

Sebetulnya, semakin kau mencoba menutupi dustamu, justru semakin terlihat borok yang sebenarnya.

Selepas kerja, aku sengaja mengajakmu makan di luar yang sebetulnya aku hanya ingin mengonfrontasimu. Dan seperti biasa, jika kau ketahuan salah, selalu menghindar dan menganggap semuanya selesai.

Jujur saja, ketika kita makan di Mas Kobis Jalan Palagan, raimu pengen tak raupi sambel. Aku mangkel.

Aku hanya diam, rahangku menegang, dan kau mencoba memecah kebisuan.

"Hai Pan." cengar-cengir asu, batinku.

"Habis ngga kamu makannya?"

"Yo kudune ngerti lah porsi manganku sepiro, ndadak takon." pagop.

"Maaf ya, aku kemarin bohong soalnya diajak minum sama temenku, nggak enak kalo nolak terus mbok kamu tiba-tiba dateng." Telingaku sudah terbiasa mendengar omong kosongmu.

"Oh, gitu. Kamu sebenernya ke Solo sama siapa emang?"

"Sama adikku pan, aku ke kost temenku Cilacap tu lho. Nih, ada chatnya." Nadamu mulai meninggi, khas seperti orang salah yang terpojokkan.

"Oh, malam minggu kemarin aku gatau iseng aja pengen lewat kost adikmu dan lampunya nyala, yo tak kiro ono uwong neng njero."

Raut mukamu berubah, dan seperti biasa, mulai berperan menjadi korban.

"Kui, koe senengane curiga ngono. Yo kui iso wae tetangga kost e to, untung koe ra mlebu lho, nek mlebu isin koe" Nada bicaramu semakin meninggi dan rahangmu semakin menegang. Khas seseorang yang sedang terpojok atas kesalahan yang ia buat sendiri.

"Udahlah ayo mulih wae, malah ngamuk aku mengko neng kene. Udah aku jalan aja, sana kamu pulang." Lagi dan lagi, mungkin menghindari masalah dan lepas tanggung jawab sudah sepatutnya kau cantumkan dalam daftar riwayat hidupmu.

"Nggak, nggak, ayo bareng. Aku masih ada urusan sama kamu."

Di perjalanan, kau mengulangi dustamu lagi

"Aku kemarin capek banget Pan, terus anak-anak ngajak minum. Aku nggak enak sama kamu kalo kamu tiba-tiba dateng, makanya aku bohong bilang pulang hari Senin."

"Kamu kenal aku berapa tahun sih, kok nganti bingung nek aku tiba-tiba dateng? Lagian aku yo males banget ngerti-ngerti marani koe seko Kalasan neng Palagan."

"Udahlah pan terserah kamu nek nggak percaya yo nggakpapa."

Kami tiba di depan gerbang kost, kau turun dari motorku, dan bergegas membuka gerbang, semakin menjelaskan sifatmu yang selalu menghindari masalah.

"Sek aku meh ngomong karo koe, foto iki opo? Koe neng Solo nemoni iki to? Hooh po ora?" ucapku sembari menunjukkan gabungan fotomu dan Betari Durga dengan latar belakang yang sama.

Kau terbelalak. Dan seperti yang sudah-sudah, bakatmu adalah menghindari masalah dan lepas tanggung jawab.

"Heh? Emang itu aku di tempat yang sama sama dia?" ucapmu mencoba menyudutkanku.

"Jawabane gur hooh po ora." 

"Udah kamu pulang aja, aku mau menenangkan diri." selain berdusta, manipulatif adalah bakatmu.

Ribuan hari aku bersamamu, hal seperti itu telah menjadi makanan sehari-hari bagiku.

Untuk kali ini, aku tidak akan mengikuti permainanmu.

"Jawabane gur hooh po ora?" kau semakin terpojok dan hendak menutup pintu gerbang segera.

"Udah, sana kamu pulang dulu, aku mau menenangkan diri, kalo kamu mau penjelasan, besok aku jelasin."

"Rasah kesuwen, jawabane gur hooh po ora?!"

"Udah, kamu pulang dulu sana to."

"Jawabane gur hooh po ora?"

"Kamu pulang dulu, aku mau menenangkan diri dulu. Besok tak jelasin."

"Jawabane gur hooh po ora. Nek ra mbok jawab, aku bakal tetep neng kene ra urusan."

"Yaudah terserah kamu kalo kamu mau di sini."

"Cepet dijawab, jawabane gur hooh po ora?" 

Kau menghela nafas, dan melontarkan pertanyaan

"Emang kenapa kalo aku pergi sama dia?"

"Emang kenapa kalo kamu pergi sama dia? Durung ono seminggu ya koe meyakinkan aku nek kalian raono opo-opo, terus jebul koe lungo karo Betari Durga, terus koe iso takon kenapa kalo kamu pergi sama dia? Berarti iki bener yo koe ngapusi meneh, koe lungo karo dee?"

"Iya, aku pergi sama dia." tegasmu.

"Iso ya koe ngono kui. Iki sing ketauan langsung ya, durung liyane sing aku ra ngerti. Belum ada dua minggu kamu nemuin aku ke orang tuamu lagi, belum ada seminggu kamu bilang nggak ada apa-apa terus nyatane kamu bohong lagi kan?" 

Dan adalah jawabanmu selepas cecarku yang selamanya akan kujadikan memori dari keangkuhan dan arogansimu,

"Sekarang kamu tau kan rasanya gimana?!"

You betrayed me
And I know that you'll never feel sorry
For the way I hurt,
You'd talk to her
When we were together
Loved you at your worst
But that didn't matter

"Sekarang kamu tau rasanya gimana?! Bajingan ya koe, aku bertahun-tahun seko nol karo koe, koe sing selalu ngatur, selalu overthinking, selalu nuntut dan nuduh ini-itu, koe sing gampang nesu, dan kamu juga yang pertama kali berkhianat. Aku sampe ke psikolog waktu itu, dan beberapa kali aku harus minum obat tidur biar aku bisa istirahat tanpa harus pikiranku kemana-mana, saking stressnya sampe dadaku harus nyeri sepanjang 2019. Dan kamu bisa-bisanya tanya tau kan rasanya gimana? Aku bales kamu karena ulahmu sendiri, kamu duluan yang mulai. Aku udah jauhin semuanya karena kamu niat mau memperbaiki, tapi nyatane opo? Aku selalu diam, aku selalu ngalah, aku selalu effort lebih dan kamu masih tanya tau kan rasanya gimana?!"

Kau terdiam.

"Ini semua tak kembaliin, kaus weekeend offender dan novel hadiah ulang tahunku, tulisan, foto, tiket pesawatmu pertama kali dipanggil wawancara akhir perusahaanmu tak balekke. Bajingan. Aku gah ndelok raimu meneh." selepas memberi bungkusan berisi benda-benda darimu, aku bergegas memacu motorku dan pergi. 

Guess you didn't cheat
But you're still a traitor

Aku tidak menangis. Aku tidak menyesal mengambil keputusan ini. Sama sekali.

Satu yang sangat kusesali hingga saat ini, waktuku yang terbuang percuma untuk bersamamu.

Senin, 13 Juli 2020,

Hidupku kembali seperti semula, tanpa tuntutan, tanpa beban, tanpa bertanya-tanya dan gelisah di setiap malam.

Senin, 12 Juli 2021

365-4 / Terjawab

Minggu, 12 Juli 2020.

Aku masih penasaran, sebetulnya dengan siapa dan untuk apa kamu mengunjungi Surakarta?

Dari rumah, aku berjanji, apapun yang kulihat nanti, adalah jawaban dari semua pertanyaan yang berjejal di kepala.

Sore hari, selepas ashar, aku menuju kawasan belakang Monjali.

Pintu paling utara terbuka lebar, sepatumu berada di depan kamar.

Kamu. Sudah. Pulang.

Dan aku tidak menerima kabar apapun selepas kepulanganmu.

Aku membelokkan kendaraan ke restoran cepat saji di kawasan Jembatan Jombor dan memberanikan diri untuk menghubungimu.

"Kamu udah di Yk?"

"Besok pagi baru balik pan. Ga kebagian tiket tadi huhu."

"Emang naik prameks?"

"Iya, soalnya mau nyoba aja lama nggak naik prameks."

"Oke, kabarin ya kalau udah di Yk lagi. Kemarin jadinya berangkat sama sendiri atau sama saudaramu?

"Oke, sama saudaraku, ke kos temenku."

Percakapan selesai.

Perihal berdusta, kamu juaranya.

Akan tetapi, kamu lupa, 

bahwa di celah-celah dustamu, aku selalu tau.

Selepas maghrib, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa apa yang kamu ketahui dan kamu lihat setelah ini, hidup akan terus berjalan seperti biasa. Sedihlah sewajarnya. Menangis secukupnya.

Aku memutuskan untuk masuk ke kost saudaramu, ada dia di lorong

"Mbak pie kabare?" sumringah

"Apik. Koe sehat?"

"Alhamdulillah mbak, mlebu wae kae bos e neng njero lagi adus."

"Aku gur meh njikuk tupperware kok, mengko langsung mulih."

Aku yakin, kamu tidak berangkat dengan saudaramu ke Surakarta.

Adikmu bahkan membukakan pintu kamarnya agar aku bisa masuk, dan bertepatan kamu keluar dari kamar mandi.

"Weh." kau terkejut, dan aku hanya bisa menatap nanar lalu pergi.

"Kok langsungan mbak?"

"Iya, aku meh blonjo bariki. Koe mulih seko Cilacap kapan? Wis sempet lungo durung selama neng Jogja?"

"Wah lagi kamis wingi mbak, aku neng kost terus ora lungo blas."

"Okay, aku mulih sek. Nuwun yo."

Aku bergegas pulang, membelah ringroad lagi dan lagi tanpa tau perasaan apa yang sedang menghampiri.

Kembali pikiranku dijejali pertanyaan.

Dengan siapa?

Dan sama seperti masalah di tahun-tahun sebelumnya, kamu selalu lepas tangan dan tidak pernah ada penjelasan yang kuterima.

Tidak ada pesan masuk sama sekali darimu. Ya, kamu selalu dan selamanya akan begitu. Kesalahanku dari awal, menafsirkan pertanda adalah ujian yang dapat kulalui.

Ribuan hari dan ratusan kali semua masalah yang datang tak pernah diselesaikan dengan baik.

Ribuan hari dan ratusan masalah, terpaksa dianggap selesai dengan baik.

Aku berterima kasih bahwa Tuhan menjawab doaku selama ini. Pintaku, jika memang jalanku denganmu, tunjukkan, dan memang bila tidak denganmu, tunjukkan.

Dan Tuhan memberi jawaban bahwa jalanku tidak dan tidak akan bersamamu.

Kudapati 2 fotomu dan Betari Durga dengan latar belakang dan suasana yang sama.

Sedikit percaya dan tidak percaya, namun hal itu nyata.

Kamu dan dia, bersama. Kamu yang belum ada 7 hari berujar bahwa tidak ada hal apapun di antara kalian berdua, nyatanya kalian bersama.

Satu hal yang kala itu mengusik pikiranku, kenapa di Candi Sukuh?

Kenapa kalian di Candi Sukuh?

Aku tau, kamu sedikit menaruh sentimen dengan situs itu. Aku tau kamu membahasnya berulang kali ketika aku, mantan kekasihku, dan temanku mengunjungi situs itu selepas kita selesai karena ulahmu yang memasukkan wanita lain lagi ke dalam rumah yang kita bangun selama ribuan hari.

Adalah bukan suatu kebetulan kamu di sana dengan Betari Durga.

Aku segera membuka lemari pakaianku, ku kumpulkan semua benda yang kau beri untukku.

Kaus weekend offender Yogyakarta series yang katamu berniat untuk kau beri di ulang tahun ku di tahun 2019 sebagai permintaan maaf bahwa kau telah memasukkan wanita lain ke rumah kita, namun gagal kau beri tepat di hari ulang tahunku di akhir bulan maret karena aku sudah muak denganmu, sementara di awal bulan april, aku memilih pergi dengan temanku dan mantan kekasihku di Candi Sukuh dan Telaga Sarangan. Kaus identitas jurusan kampus mu, pasfoto mu, beberapa foto kita, tiket pesawat pertama kali kamu ke Jakarta untuk wawancara akhir dengan kantormu yang sekarang, surat dan tulisan yang kau tulis untukku, serta Isyarat Cinta yang Keras Kepala dan Cinta Lama karangan Puthut EA yang kau beri di ulang tahunku di tahun 2020.

Kukemasi semuanya, tanpa air mata.

Mungkin kamu berniat membalas sakit hatimu kala itu.

Mungkin juga kamu ingin melepas belenggu yang memasung kita selama ini.

Dan mungkin, beberapa pertanyaan memang tidak memerlukan jawaban.

Aku memang sakit hati, 

Namun, 

Kali ini aku dapat tidur dengan tenang.

Selamat jalan,
Kupergi duluan.

Cinta yang lalu bukan kulupa,
Tapi ku harus.

Minggu, 11 Juli 2021

365-3 / Sedikit Lagi

 Sabtu, 11 Juli 2020.

Aku ragu, apakah kamu betul-betul ke Solo untuk menemui kawanmu?

Ataukah kamu menemui Betari Durga?

Ah, perempuan kalau sudah penasaran, dicari sampai ke akar.

Terbersit keraguan kamu menemui Betari Durga, namun satu kebetulan menghilangkan keraguan itu.

Aku dan temanku mengendarai motor, iseng saja, mengajak lewat ke kost saudaramu di kawasan Jalan Palagan, belakang Monumen Jogja Kembali.

"Kan pergi sama sepupunya, mungkin emang nemuin temen mereka."

Sabtu, 11 Juli 2020.

Kamar kost paling pojok sebelah utara lampunya nyala.

Ada orang di dalamnya, entah.

Kamu ke Surakarta tidak bersama adik sepupumu.

Tidak tahu siapa persisnya yang kau temui.

Kawanmu, atau

Kawanmu?

Mencari jalan tak pernah sampai tujuan
Terlanjur hangus, terburai, dan berantakan

Sudah lelah, sudah muak
Badai kita takkan kunjung reda.

365-2 / Menuju

Akhir minggu pertama, bulan Juli, 2020.

Berkali-kali rasa penasaran berlarian di pikiranku,

Siapa, Betari Durga?

18.52, aku bertanya

"Yang nelfon kemaren siapa?"

Kau menjawab satu nama yang tidak asing untukku.

Kaget.

Marah.

Benci.

Bukan, aku sama sekali tidak membenci si Betari Durga, tapi aku benci perlakuanmu kepadaku seperti:

"Ya udah kita kan sama-sama lagi kaya gini to.. lagi memperbaiki.. tolong ya Van kalau ada yang deketin kamu, nggak usah ditanggepin."

"Dihindari lah sirkel mu bal-balan. Koe durung keno tulah e wae."

"Kamu bakal nyesel kalo ada apa-apa yang manfaatin "mercusuarmu" di tengah-tengah orang yang suka sama kamu karena mirip Danilla."

Dan segala perkataanmu perihal Vania tolong hindari yang deketin kamu, di samping kamu yang nggak mau diajak betul-betul kembali seperti dulu. Dan kamu berkali-kali melakukan hal yang kamu larang sendiri.

Yang perlu kamu ketahui, aku menghindari mereka, aku block mereka saat aku merasa kamu mulai menunjukkan sikap tidak mengungkit lagi kesalahanmu dan kesalahanku di tahun 2019, terutama 2 orang yang memang pernah mencoba mendekatiku. Bahkan, jika ada acara yang mengharuskan aku dan mereka bertemu, aku pastikan kami tidak berdua dan selalu ada teman kami lainnya yang ada di acara tersebut.

Beberapa hal aku lakukan tanpa paksaanmu, beberapa hal pula atas paksaanmu. Sejujurnya, aku tidak suka melakukan hal yang bukan keinginanku sendiri. Perihal aku didekati beberapa pihak, toh, bukannya semua tergantung aku?

Di satu kamar kost Jalan Monjali, kamu mencoba menjelaskan semuanya perihal telepon dari Betari Durga. Hanya teman, katamu. Dia punya pacar, katamu. Aku nggak mungkin sama dia, katamu. Kalau dia tahu kamu cemburu, justru kamu yang diketawain, Van, katamu. Buat apasih namanya diganti? Katamu, Ia menghubungimu perihal meminta bantuan untuk mengubah tanda tangan dosen pembimbingnya jadi PNG buat surat pernyataan perpanjangan di corel. Tapi, bukankah hanya teman yang betul-betul dekat yang tentunya sering berkomunikasi secara intens, menelepon di malam hari, dengan nama lain, yang mungkin panggilan sayang?

Bukan panggilan sayang, katamu. Kamu menyanggah. Akan tetapi, sanggahanmu justru semakin menegaskan bahwa kalian memang betul-betul berkomunikasi secara intens, dan mungkin dalam rentang waktu yang lama.

"Terus kenapa namanya diganti?"

"Soale dee ki crewet tenan"

"Opo panggilan sayang?"

"Ora, nek iki ora masalah jenengane tak limpe seko koe. Cen dee sifate ngono kui."

"Yo gari dijenengi jeneng asline wae ben rasah mikir aneh-aneh."

"Soale dee jenengi kontakku yo buto cakil pan."

"Yowis cocok koe wong 2 duwe jeneng khusus dewe-dewe"

"Bukan maksud opo-opo tenan, yo gur ra trimo wae aku dijenengi ngono kui"

"Lha kok koe ngerti nek kontakmu dijenengi buto cakil? Sering wasap terus kirim-kiriman screenshoot berarti?

"Dee ngandani aku screenshoot. Kalo mau marah dan berkepanjangan, siap menerima konsekuensinya saya pan. Intinya aku nggak ada apa-apa sama dia. Aku salah dengan menamai kontak nggak sesuai sama namanya, dikiro menyembunyikan dari kamu. Biar waktu yang menjawab, ujung-ujunge koyo koe suudzhon karo ***a pas kae."

Di ujung pembicaraan, kamu pamit hari jumat sampai minggu atau senin mau ke Solo, bersama saudaramu. Aku mempersilahkan. Rupanya, kepergianmu ke Solo adalah waktuku untuk menuju tentang apa yang sudah seharusnya selesai sejak lama.

"Lakuin apa yang kamu mau sesuai nuranimu ya, aku gamau cawe-cawe lagi untuk hidupmu." Ucapmu. Ucapmu setiap kamu ketahuan membuat kesalahan yang menghadirkan orang lain di hubungan ini. Selalu.

Percaya padaku, Tuhan pun tertawa melihat kita yang hanya menerka.

Aku kehilangan banyak kesenanganku. Aku kehilangan beberapa temanku. Aku menjaga jarak dengan beberapa temanku, terutama yang kamu curigai. Tapi, 7 dan 8 Juli 2020, aku kecolongan untuk kesekian kalinya.

Lagi.

Selasa, 06 Juli 2021

365-1 / Mulai Terlepas

Satu malam pandemi di Jakarta.
Aku melihat layar handphone. 6 Juli 2021.
Lalu, teringat akan satu peristiwa tepat satu tahun yang lalu. Awal mula aku terlepas dari belenggu.
Kawasan Jalan Monjali Yogyakarta, Senin malam, 6 Juli 2020.
Aku terbangun dari tidur sebentar, tak sengaja aku menatap layar handphonemu.
Satu panggilan masuk sekitar pukul setengah sepuluh malam.
Setengah sadar aku membaca "Betari Durga" perempuan, foto profilnya.
Ku berikan handphonemu, kau menjawab panggilannya
"Ora-ora, aku ra iso!" sayup-sayup ku dengar jawabmu kepada panggilan itu.
Setengah sadar, aku tidak tahu siapa dia, aku tidak curiga. Oh, belum rupanya.
Aku meringkas barang-barang hendak pulang, masih tak ada rasa curiga. Oh, belum rupanya.
Kau masuk, menawariku untuk tahu siapa "Betari Durga"
Aku tidak berminat, aku masih tidak curiga. Oh, belum rupanya.
Aku pulang menuju timur Yogyakarta. Membelah jalanan ringroad dari Monjali ke Kalasan. Malam hari, sendirian.
Aku masih tidak curiga. Aku masih tidak tahu siapa Betari Durga.
Setengah sebelas malam, aku tiba di rumah dan membuka pesan darimu.
"Maafin aku ya, aku takut kamu salah paham."
"Udah sampe rumah" jawabku.
Aku berbaring di kamar.
Tadi itu siapa ya?
Kenapa namanya tokoh wayang ya?
Ada perlu apa telepon malam-malam?
Oh, rupanya, aku mulai curiga.


Cempaka Putih, Jakarta
6 Juli 2021

Rabu, 02 Oktober 2019

Memanggil Memori


Rabu malam, minggu pertama bulan Oktober, di hari batik nasional, aku bersandar pada kursi kereta api yang membawaku dari Kota Pelajar ke Ibukota. Tahun lalu, hal yang sama di bulan yang sama pula terjadi kepadaku.

Lagi-lagi aku ke Ibukota, untuk bersenang-senang, belum saatnya untuk bekerja di sana. Suatu saat, aku akan menjemput salah satu mimpiku yang tertinggal di sana.

Pada gerbong ekonomi 7 kursi nomor 17D kereta api Jaka Tingkir, pikiran serta perasaanku melayang entah kemana. Aku seperti mengalami perasaan yang sama, seperti perjalanan Ibukota ku tahun lalu. Sedih, gundah, bahagia, dan sepi berlarian kemudian berjejal menjadi satu.

Tahun lalu, sebelum perjalananku, kami terlibat konflik, untuk perjalanan tahun ini, jauh sebelum perjalananku, kami terlibat konflik yang teramat pelik.
Segala pikiran terlintas dengan tidak sopan di kepalaku, tentang segala bagaimana jika dan apakah iya, pada akhirnya, aku lelah.

Dalam keadaan perjalanan jauh seperti ini, jika diperkenankan untuk memilih kursi, aku selalu memilih nomor 17. Nomor kursi yang tidak pernah berubah untuk menjadi sandaranku di perjalanan jauh.
Entah sampai kapan aku akan beranjak dari pilihan nomor 17.

Sudah memasuki bulan ke 10, 2 bulan lagi untuk membuka 2020. Aku teringat beberapa kisah yang terjadi kepada kami di bulan kesepuluh, tepat 3 tahun yang lalu, dia beserta kawan-kawannya berfoto bersama mengenakan batik, turut serta dalam memperingati Hari Batik Nasional. Oh iya, kala itu dia telah menuntaskan nazarnya, jika Departemennya juara umum pekan olahraga dan seni fakultas kami, dia hendak lari sore mengitari gedung fakultas kami di Sekip Unit 1, hanya dengan mengenakan boxer. Dan, ya, pada akhirnya nazar itu terlaksana dan ia lari sore mengitari Gedung Sekip Unit I, hanya mengenakan celana boxer dan membawa salah satu bendera sebagai lambang kecintaannya pada Departemennya. Sayang, kala itu aku tidak bisa melihat dia menunaikan nazarnya secara langsung. Aku sedang sakit.

Di bulan kesepuluh 3 tahun yang lalu juga, kami menciptakan salah satu konflik terbesar kami, lalu di bulan kesepuluh 2 tahun lalu, kami berhasil menjalaninya dengan baik-baik saja, dan di bulan kesepuluh 1 tahun yang lalu, kami terlibat konflik yang sebetulnya tidak perlu dibesar-besarkan, tapi ya sudah, toh semua telah berhasil kami lalui.

Pada akhirnya, di malam kedua bulan kesepuluh, kami berdua masih mencari jalan keluar dan mencoba mengurai simpul kacau yang kami buat sendiri sepanjang tahun ini. Melelahkan bagi kami, menyiksa bagi kami, dan menyedihkan pula bagi kami.

Dengan perasaan yang sedikit banyak masih sama, saya berbisik pada gorden, jendela, kursi, dan gerbong kereta api ini untuk menyerap residu perasaan saya. 

Dengan perasaan yang sedikit banyak masih sama pula, saya menerawang jauh dalam pekatnya malam yang jatuh di sawah, bukit, dan pekuburan yang kereta Jaka Tingkir lewati untuk mengecap perasaan saya.

Dan pada hiruk pikuk kota yang dilewati kereta ini, saya sebarkan rasa rindu saya, dan saya bisikkan munajat saya kepada dia yang bersedia melewati masa sedih dan senang kami berdua.

Kelak, angin akan membawa terbang perasaan dan doa-doa saya melewati laut dan gunung hingga tiba ke tempat dia berkarya.

Semoga, kami berdua lekas berhasil dalam mengurai simpul kacau yang kami buat sendiri. Meskipun kesalahan saya belum tentu dapat saya tebus, namun memanggil memori seperti yang saya lakukan ini setidaknya dapat memupuk kembali ingatan baik tentang dia dan tentang kami berdua.

Memanggil memori dan semoga kamu selalu dalam lindunganNya.