CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 02 Oktober 2019

Memanggil Memori


Rabu malam, minggu pertama bulan Oktober, di hari batik nasional, aku bersandar pada kursi kereta api yang membawaku dari Kota Pelajar ke Ibukota. Tahun lalu, hal yang sama di bulan yang sama pula terjadi kepadaku.

Lagi-lagi aku ke Ibukota, untuk bersenang-senang, belum saatnya untuk bekerja di sana. Suatu saat, aku akan menjemput salah satu mimpiku yang tertinggal di sana.

Pada gerbong ekonomi 7 kursi nomor 17D kereta api Jaka Tingkir, pikiran serta perasaanku melayang entah kemana. Aku seperti mengalami perasaan yang sama, seperti perjalanan Ibukota ku tahun lalu. Sedih, gundah, bahagia, dan sepi berlarian kemudian berjejal menjadi satu.

Tahun lalu, sebelum perjalananku, kami terlibat konflik, untuk perjalanan tahun ini, jauh sebelum perjalananku, kami terlibat konflik yang teramat pelik.
Segala pikiran terlintas dengan tidak sopan di kepalaku, tentang segala bagaimana jika dan apakah iya, pada akhirnya, aku lelah.

Dalam keadaan perjalanan jauh seperti ini, jika diperkenankan untuk memilih kursi, aku selalu memilih nomor 17. Nomor kursi yang tidak pernah berubah untuk menjadi sandaranku di perjalanan jauh.
Entah sampai kapan aku akan beranjak dari pilihan nomor 17.

Sudah memasuki bulan ke 10, 2 bulan lagi untuk membuka 2020. Aku teringat beberapa kisah yang terjadi kepada kami di bulan kesepuluh, tepat 3 tahun yang lalu, dia beserta kawan-kawannya berfoto bersama mengenakan batik, turut serta dalam memperingati Hari Batik Nasional. Oh iya, kala itu dia telah menuntaskan nazarnya, jika Departemennya juara umum pekan olahraga dan seni fakultas kami, dia hendak lari sore mengitari gedung fakultas kami di Sekip Unit 1, hanya dengan mengenakan boxer. Dan, ya, pada akhirnya nazar itu terlaksana dan ia lari sore mengitari Gedung Sekip Unit I, hanya mengenakan celana boxer dan membawa salah satu bendera sebagai lambang kecintaannya pada Departemennya. Sayang, kala itu aku tidak bisa melihat dia menunaikan nazarnya secara langsung. Aku sedang sakit.

Di bulan kesepuluh 3 tahun yang lalu juga, kami menciptakan salah satu konflik terbesar kami, lalu di bulan kesepuluh 2 tahun lalu, kami berhasil menjalaninya dengan baik-baik saja, dan di bulan kesepuluh 1 tahun yang lalu, kami terlibat konflik yang sebetulnya tidak perlu dibesar-besarkan, tapi ya sudah, toh semua telah berhasil kami lalui.

Pada akhirnya, di malam kedua bulan kesepuluh, kami berdua masih mencari jalan keluar dan mencoba mengurai simpul kacau yang kami buat sendiri sepanjang tahun ini. Melelahkan bagi kami, menyiksa bagi kami, dan menyedihkan pula bagi kami.

Dengan perasaan yang sedikit banyak masih sama, saya berbisik pada gorden, jendela, kursi, dan gerbong kereta api ini untuk menyerap residu perasaan saya. 

Dengan perasaan yang sedikit banyak masih sama pula, saya menerawang jauh dalam pekatnya malam yang jatuh di sawah, bukit, dan pekuburan yang kereta Jaka Tingkir lewati untuk mengecap perasaan saya.

Dan pada hiruk pikuk kota yang dilewati kereta ini, saya sebarkan rasa rindu saya, dan saya bisikkan munajat saya kepada dia yang bersedia melewati masa sedih dan senang kami berdua.

Kelak, angin akan membawa terbang perasaan dan doa-doa saya melewati laut dan gunung hingga tiba ke tempat dia berkarya.

Semoga, kami berdua lekas berhasil dalam mengurai simpul kacau yang kami buat sendiri. Meskipun kesalahan saya belum tentu dapat saya tebus, namun memanggil memori seperti yang saya lakukan ini setidaknya dapat memupuk kembali ingatan baik tentang dia dan tentang kami berdua.

Memanggil memori dan semoga kamu selalu dalam lindunganNya.