CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 08 Oktober 2021

365-6 / Sudah tugasku menjadi sembuh

Senin, 24 Agustus 2020,

Setelah mempertimbangkan beberapa saran dan untuk mengakhiri apa yang seharusnya sudah berakhir sejak lama.

Untuk kewarasan diri ku sendiri,

Untuk kemudahan diri ku sendiri,

Untuk jam tidur malam ku yang lebih cepat,

Untuk malam-malam tanpa obat penyebab rasa kantuk lagi,

Untuk rasa tidak bersalah saat aku dekat dengan orang lain,

Untuk rasa aman saat aku dekat dengan orang lain,

Demi malam-malam yang akan dan harus kulewati tanpa lamunan dan pikiran yang kacau,

Untuk melengkapi akhir dari seribu lima ratus hari,

Aku meneleponmu, getir, menerobos dinding egoku sendiri

“Halo”

“Iya halo”

Aku menghela nafas, sudah saatnya

“Aku nggak bisa basa-basi, setelah kejadian kemarin, intinya sekarang urusanku dan urusanmu sudah selesai. Buat kedepannya, terserah kamu mau sama siapa, mau tetep sama Betari Durga atau perempuan lain, terserah. Dan terserah aku juga setelah ini mau sama laki-laki yang mana. Nggak ada tendensi apa-apa lagi antara kita. Jujur aku nunggu itikadmu setelah kejadian kemarin, kamu minta maaf atau nggak, kamu ngasih penjelasan atau nggak. Dan, nyatanya kaya yang sudah-sudah, udah lewat 40 hari dan nggak ada penjelasan, nggak ada permintaan maaf. Kamu tetap kamu, nggak ada yang beda dari 5 tahun yang lalu. Aku nelpon kamu bukan buat mengulang siklus yang sama, tapi aku pengen make sure kita betul-betul udah nggak ada. Dan kaya yang sudah-sudah, aku yang reach out kamu duluan. Terima kasih. Urusan kita udah selesai. Aku nelepon koe karena aku wegah nduwe dendam atau sengit karo koe

Hening

Aku berhasil menyampaikannya dengan baik tanpa ada kalimat yang tercekat di tenggorokan ku seperti yang telah lalu.

“Gini, tak ulangi sekali lagi, aku ora jadian karo Betari Durga dan aku ora enek opo-opo karo de’e. Nek koe ngiro aku ono opo-opo yowis karepmu. Tapi aku menekankan aku ora ono opo-opo karo de’e. Aku pancen arep njaluk ngapuro karo koe, Pan. Tapi koe sore kui ngomong wegah ndelok raiku meneh dan ngonekke bajingan, nek aku njaluk ngapuro karo koe, raiku meh tak seleh ndi?”

Aku memandang langit-langit kamar ku, poin pertama, aku menganggap omongan mu hanya bualan semata. Karena, ya, memang hanya  bualan selalu dan selamanya.

Dan, poin kedua, sekali lagi, kamu tetap kamu, kamu dan tembok egomu yang sangat keras dan tinggi sehingga meminta maaf untuk kesalahan yang kamu buat sendiri pun terasa enggan.

Seandainya kamu menarik kembali ingatan untuk segala klarifikasi-pernyataan yang kamu lontarkan saat kita masih bersama, niscaya, segalanya berarti kebalikannya.

Aku tidak menyangkal dan menyanggah segala pernyataan mu di malam itu, karena ya, aku tidak ingin kita kembali pada siklus yang sama yang betul-betul melelahkan.

Aku hanya ingin urusan ini selesai dan aku tidak menyimpan berbagai pertanyaan yang jawabannya selalu ku cari sendiri, yang sangat melelahkan dan berujung menyalahkan diri ku sendiri.

“Terserah. Aku gur menilai dan ndelok opo sing tak delok di minggu itu. Faktanya, koe ditelpon de’e dan jenenge mbok ganti ning kontak mu. Faktanya, koe ngomong ra bakal dan ra ono opo-opo tapi nyatane koe ning Solo lungo nemoni de’e. Sing aku isih bingung nganti saiki, ngopo koe ket mbiyen selalu ngelarang aku ini-itu tapi larangan kui mbok lakoni? Ngopo setelah 4 hari koe nemokke aku karo Bapak-Ibumu meneh, jebul koe malah ditelepon Betari Durga? Ngopo setelah koe menjelaskan tentang Betari Durga tapi malah koe lungo karo de’e? Ngopo koe kudu neng Candi Sukuh, salah satu tempat sing koe selalu sentimen karena aku tau lungo karo mantan ku ning kono? Aku ra ngerti motif mu kepie, tapi aku loro ati banget pas koe ngomong “sekarang kamu tau kan rasanya gimana?” aku wis ra iso ngomong opo-opo meneh terkait kui. “

 

Sing Candi Sukuh kui kebetulan, Pan.”

“Oke, mungkin kamu balas dendam. Tapi, ya udah. Semua udah kejadian. Cuma ngopo to koe selalu menyembunyikan hal-hal koyo ngene? Padahal nek koe ngomong baik-baik nek iki wis ra iso didandani aku malah rapopo banget. Tapi yo dengan catatan, koe fair ketika memutuskan untuk berhenti dan aku cedak karo wong liyo. Selama iki kan ora, selalu ning siklus sing kui-kui wae.”

Seingat ku, kamu hanya menjawab terkait kesamaan tempat. Untuk pertanyaan-pertanyaan ku yang lainnya, aku lupa telah terjawab atau selamanya tidak akan pernah terjawab sampai kapan pun. Dan tidak apa-apa, beberapa pertanyaan memang tidak memerlukan jawaban, dan beberapa lainnya bersifat retoris.

Udah, sekarang intinya kamu mau ngomong apa lagi? Jangan muter-muter.”

Pertanyaan dengan pola yang sama yang selalu kamu lontarkan setiap kita berseteru, tepatnya setiap aku meminta penjelasan. Selalu.

Untuk memanipulasi, kamu juaranya.

Tidak ada omongan ku yang muter-muter, semua terarah tanpa basa-basi, dan kamu tau aku tidak pernah basa-basi di setiap omongan dan pertanyaan ku.

Nggak ada, itu tadi aja, aku masih heran kenapa semua beruntutan tapi berlawanan. Aku tetep bingung dan sakit hati pas kamu bilang “Sekarang kamu tau kan rasanya gimana?” ya itu aja sih”

“Ya udah kalo gitu, makasih”

“Oke, sama-sama”

Sambungan terputus.

Senin, 24 Agustus 2021.

Malam merambat semakin gelap,

Aku sendiri di rumah,

Aku punya kesempatan untuk menangis lebih keras,

Ya, tidak dapat dihindari bahwa air mata ini akan jatuh, pasti jatuh.

Tidak, aku tidak menangis karena kehilangan mu,

Aku tidak menangis karena aku dan kamu telah berakhir,

Aku tidak menangis karena akhir dari jalan panjang nan penuh liku berujung seperti ini,

Aku menangis karena kejengkelan ku kepada mu untuk segala rasa tidak pernah merasa bersalah mu,

Aku menangis karena muak dengan dinding ego mu yang begitu tebal,

Aku menangis atas waktu yang terbuang percuma.

Tak apa, aku lega, sangat lega, segala kegelisahan dan kecemasan ku berakhir sudah,

Segalanya terjawab dan berhasil tersampaikan dengan runtut dan tanpa ragu.

Untuk lebih dari seribu hari yang kita lalui, terima kasih

Untuk kebersamaan dan pengkhianatan sejak usia kita belasan hingga puluhan tahun, terima kasih

Untuk segala keprihatinan dan puncak tertinggi yang pernah kita lewati, terima kasih

 

"Ketika semua telah berakhir, hilang sudah harapan di hati

Ketika semua telah berakhir, tak aka nada rasa di antara kita

Ketika semua telah berakhir, ku tak tahu apa yang ku cari

Ketika semua telah berakhir, ku terduduk menunggu datangnya pagi

Sesungguhnya ku telah rela melepaskan diri mu

Hanya saja, ku menyesal kau telah buang waktu ku

Dan kini semuanya telah terjadi."

-----

"Dengan tangan ku, ku bantu aku, tumbuh membaru dengan luka ku

Dengan berat ku, Tarik lemah ku, sudah tugas ku menjadi sembuh

Ku sulam senyum, meleburkan yang pilu, demi menjadi angan ‘tuk yang butuh."

 

“Aku wegah nduwe dendam atau sengit karo koe”

Semoga.